Jumat, 10 April 2009

pilihanX pacarQ

Kasar, brutal dan cabul. Tapi kini ditayangkan sebuah stasiun TV nasional sampe empat kali sehari.

Tokoh sentral dari tontonan kartun ini bernama Bob, sosok berupa busa atau bentuk persegi, dan berwarna kuning. Bersama kawan-kawannya, semisal Patrick dan Garry, Bob melakukan hal-hal konyol, lucu dan kadang di luar dugaan. Film kartun keluaran Nickelodeon Channel ini, beberapa saat setelah pemutarannya, memang cukup menyita perhatian. Banyak pemirsa, bukan cuma di negara asalnya AS, tapi juga negara-negara lain dimana film ini disiarkan, kepincut sama para tokoh dan cerita dalam film kartun ini. Bersaing sama film animasi lainnya, seperti Micky Mouse yang keluaran Walt Disney, SpongeBob SquarePants masuk sepuluh besar kartun terkaya dan nangkring di posisi tujuh versi majalah Forbes. Di Indonesia sendiri, peminatnya bukan cuma anak-anak, tapi juga or-ang dewasa. Dewi Rezer, artis yang juga mantan VJ MTV itu, di satu acara infotainment ngaku sebagai pecandu berat SpongeBob. Dan kenyataanya, nih, beberapa orang kantoran buka kartu ke Rajawali kalau kartun yang disiarin di Lativi setiap hari dengan empat kali penayangan itu adalah tontonan favorit mereka.

Tapi, ada enggak, sih, sesuatu yang lain di balik kelucuan dan tampang imut tokoh-tokoh kartun ini? Ternyata, di samping banyak orang suka, SpongeBob juga banyak dapat kritikan. Tontonan ini dinilai bisa nularin sesuatu yang buruk lantaran tokoh-tokohnya enggak jarang ngeluarin kata-kata makian dan kadang berkelakuan 'brutal'. Misalnya dalam satu episode, Bob dan sahabatnya, Patrick, baku hantam pakai balok kayu. Dan yang astaga, belakangan baru ketahuan kalau kartun SpongeBob banyak berisikan lambang-lambang cabul

Keluhan Buat Sponge Bob dkk

Pdt. Deacon Fred dari Gereja Landover secara enggak sengaja nemuin sesuatu yang menjijikkan dalam SpongeBob, saat dia nemenin cucunya nonton film kartun tersebut. Waktu dia sadar apa itu, secara spontan Deacon merebut remote control dari tangan cucunya untuk mengganti channel Deacon lalu mempresentasikan temuannya tersebut di depan jemaatnya.

Menurutnya, film tersebut banyak menyampaikan pesan-pesan seks dan cabul secara terselubung. Contoh yang paling jelas adalah Sponge Bob sendiri, yang kalau posisi tubuhnya di balik, hidung dan matanya, akan terlihat seperti (ups! sorry...) penis dengan dua testikalnya (kalo kamu perhatiin baik-baik, ini ada benarnya, lho). Begitu juga dengan makhluk berwarna merah lembayung yang juga berbentuk penis, Patrick, yang kalau ketemu sama satu dari teman-temannya selalu mengeluarkan suara mengerang-ngerang yang datar dan tertawa genit enggak terkendali. Dia seperti sedang memasturbasikan dirinya ke teman-temannya.



Deacon lalu meminta tim khusus yang dipimpin oleh Dr. Jonathan Edward untuk melakukan penyelidikan terhadap kartun ini. Hasil temuan dari penyelidikan tersebut, it's totaly make them shock! Bahkan terlalu mengejutkan buat diungkapin dengan kata-kata. Dr. Edward mengatakan, hampir semua tokoh dan bagian dari film kartun tersebut, seperti pohon, rumah, etc, berbentuk seperti organ-organ seks. "Mereka bergelantungan di mana-mana dan berbicara omong kosong," kata Edward. Bahkan, muncul beberapa asumsi yang bilang kalau film kartun SpongeBob mempromosikan kehidupan gay pada masyarakat, khususnya pada anak-anak (sekedar informasi, tuduhan mempromosikan homoseksual ini juga pernah menimpa kartun Teletubbies).

Btw, bukan cuma di negerinya sendiri, SpongeBob di lndonesia juga enggak lepas dari keluhan. Walaupun enggak seheboh yang dikemukakan sama Pdt. Deacon dan Dr.Edward, kritikan yang umumnya terlontar dari para ortu ini cukup penting, lho.

Kritikannya antara lain menyangkut jam tayang yang berlebihan buat kartun SpongeBob dan beberapa terjemahan bahasanya yang kasar seperti “kiss my butt” (cium bokong saya). Kritikan dari masyarakat ini terungkap saat Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jabar, Dadang Rahmat, dan Ketua Bidang P3 SPS Dr. Atie Rachmiati, MSi meyampaikan temuannya pada koran Pikiran Rakyat di Bandung beberapa waktu lalu. Kata mereka, keluhan-keluhan tersebut disampaikan masyarakat dalam bentuk keluhan langsung melalui sambungan telpon atau surat tertulis atas nama individu dan kelompok. Umumnya keluhan datang dari kaum ibu yang ngerasain langsung efek dari tayangan tersebut pada anak-anak mereka.

Tanpa bermaksud bikin heboh dan nakut-nakutin, ada baiknya, deh, saat kamu nonton film kartun ini kamu mencermatinya lagi. Sekalipun belum ke-luar komentar resmi dari pihak terkait yang mengatakan SpongeBob SquarePant memang tayangan yang merusak dan perlu diwaspadai, keluhan-keluhan yang ditujukan buat Bob dkknya itu perlu banget buat kamu jadiin pertimbangan. Yang artinya, kamu juga harus berpikir dua, tiga atau bahkan empat kali buat 'menyantap' tontonan kartun ini sebagai tontonan favorit kamu. Begitu juga, kalau kamu punya adik kecil yang mungkin usianya masih balita. Kamu perlu mengingatkan dan mendampingi saat mereka nonton ini acara.

Tahu, kan, dalam ilmu komunikasi yang bilang kalau stimuli yang kita terima dari luar bisa mempengaruhi diri kita. Artinya, apa yang kita lihat atau dengar, apalagi kalau itu terjadi dalam intensitas yang enggak sedikit, akan terekam dalam memori kita, yang enggak mustahil, lambat laun bakal mempengaruhi cara berpikir atau tingkah laku kita kelak. Entah itu sesuatu yang baik atau buruk. Nah, kalau benar apa yang dituduhkan Dr. Edward, Pdt. Deacon, dan para orangtua itu, dengan nonton si Mr. SpongeBob dkknya ini, berarti kamu sudah ngebiarin sesuatu yang buruk masuk ke dalam pikiran kamu. Aware, deh!

Rooney!!!!

Beckham: Jangan Rubah Sifat Rooney

Jumat, 27 Mar 2009 11:07. Berita oleh teguh.

Sifat emosional dan temperamental lekat dengan sosok Wayne Rooney. Namun alih-alih disuruh mengubah, David Beckham malah menganjurkan agar Rooney tetap pada sifatnya yang cenderung buas.

Sifat emosional Wayne Rooney kembali mendapat sorotan. Penyebabnya adalah kartu merah yang diterimanya saat Manchester United dikalahkan Fulham 0-2, akhir pekan lalu. Kartu merah itu diberikan karena Rooney dianggap melempar bola ke arah wasit.

Bukan kali ini saja Rooney mendapat sorotan soal tingkah lakunya. Pada Piala dunia 2206 lalu, Rooney sempat bersitegang dengan rekan setimnya di MU, Cristiano Ronaldo. Saat memperkuat Inggris menghadapi Portugal, Rooney mendorong Ronaldo yang dianggapnya memprovokasi wasit agar memberikan kartu merah padanya.

Di Premiership sendiri, kartu kuning dan merah sudah akrab dengan Rooney. Permainannya yang keras diatas lapangan, sering memprotes wasit dan tingkahnya yang kadang keras, membuatnya sering dihujani hukuman kartu.

Soal sifat Rooney yang emosional ternyata mendapat dukungan dari David Beckham. Beckham bahkan akan mengaku aneh bila nantinya Rooney berubah menjadi pemain yang lebih lembut.

“Dengan adanya Rooney, anda bukan hanya akan melihat pemain berbakat, namun juga pemain yang bisa menghidupkan permainan,” kata Beckham.

“Jika anda mengambil sifatnya itu, maka anda akan melihat pemain yang berbeda. Dia akan menjadi “binatang” yang berbeda. Anda tak akan merubah sifat itu darinya,” lanjutnya.

“Kadang hal seperti itu mengalir begitu saja, Dia pernah beberapa kali melakukannya pada saya. Itu terjadi dan dia tahu itu tidak benar, saya juga tahu itu tidak benar. Namun itu terjadi,”

“Anda tidak bisa mengambil sifat itu darinya,” tegasnya.

“Saya tak punya masalah dengan sifatnya. Mengambilnya dari seorang pemain akan berbahaya dan saya tidak pernah berpikir merubah sifat itu dari Wayne,”

“Dia memiliki cukup banyak orang disekitarnya. Tak ada pelatih lain yang lebih kuat dari Sir Alex Ferguson dan juga Fabio Capello. Dia memiliki dua pelatih yang bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan mereka telah melakukannya,”

Rooney dan Beckham saat ini sedang bergabung dengan timnas Inggris untuk menghadapi kualifikasi Piala Dunia 2010 melawan Slovakia dan Ukraina.

..FuTsaL..

Kita, orang Indonesia, bukanlah bangsa yang dikenal luas karena taat aturan. Malah sebaliknya! Kita ini dituding, dan memang ada benarnya juga, sebagai bangsa yang tidak taat aturan. Kalau tidak mau dibilang tidak punya aturan. Bukan hanya aturan-aturan sepele yang tidak terkait langsung dengan kehidupan kita. Bahkan aturan-aturan yang sesungguhnya dibuat untuk keselamatan diri sendiri dan orang lain pun kita cuekin!

Tahu kan, ungkapan yang selalu diucapkan salah satu tokoh dalam acara parodi politik di tivi: “Gitu aja kok repot!”. Sejujurnya, saya tidak suka dengan ucapan itu. Bukan tidak suka dengan orang yang mengucapkan, lho! Ungkapan itu, menurut pendapat pribadi saya, adalah intisari dari pandangan hidup kita semua yang benar-benar menempatkan aturan di tempat sampah. Bagaimana mungkin orang-orang bisa tertawa terbahak-bahak menanggapi ide seperti itu?

Maka dari itu, saya berencana menulis sebuah serial mengenai peraturan baku dalam futsal. Semuanya saya ambil dari sumber yang sangat pantas untuk kita jadikan acuan bersama: FIFA. Semoga dengan mengenal aturan baku, memahaminya, kemudian menerapkannya dalam aktivitas futsal, akan membawa dampak positif dalam diri kita masing-masing. Siapa tahu, dengan mendisiplinkan diri dari hal kecil semacam futsal, kita kemudian bisa mulai mendisiplinkan diri dalam hal-hala yang lebih besar? Kalaupun Anda tidak sependapat dengan saya, setidaknya saya masih bisa bilang: “Pelajari dan terapkan saja aturan-aturan futsal ini, biar Anda gak tengsin-tengsin amat kalau main dalam turnamen resmi, hahaha…!!!”

Dalam edisi pertama ini, mari bicara soal lapangan dan bola. Tanpa kedua hal ini, kita semua tidak bisa bermain futsal kan?

Untuk alasan keselamatan, hindarilah penggunaan lapangan yang terbuat dari bahan semen. Sebaiknya gunakan lapangan yang terbuat dari rubber, wood, ataupun rumput sintetis. Bagaimanapun, penggunaan lapangan berumput sintetis oleh FIFA hanya diperbolehkan untuk turnamen tingkat lokal, tidak untuk tingkat internasional. Panjangnya lapangan yang ideal adalah 25-42 meter. Lebar ideal adalah 15-25 meter. Tentu saja lapangan ini harus berbentuk persegi panjang. Bukan bujur sangkar!

Di Jakarta, sejauh yang saya amati, bahan dan ukuran lapangan sangat beragam. Silahkan Anda pilih sendiri mana yang paling nyaman dan aman bagi Anda dan rekan-rekan futsal Anda. Informasi dari beberapa lapangan yang tersebar di Jakarta dapat dilihat di Fighting Ground.

Lapangan futsal dibagi menjadi beberapa zona oleh garis-garis putih (selebar 8 cm), dan juga oleh beberapa titik putih. Setiap zona punya aturan dan konsekuensi tersendiri. Saya berusaha memberi penjelasan sebaik mungkin terkait hal ini. Jadi, kalau Anda memiliki informasi yang lebih akurat, mohon jangan sungkan-sungkan untuk menulis komentar disini.

Garis panjang lapangan biasa disebut side line ataupun touch line. Jika bola melewati garis ini, maka permainan dihentikan dan selanjutnya dimulai lagi dengan kick-in. Dalam melakukan kick-in, bola harus benar-benar berada diatas garis, dan kedua kaki penendang (no offense untuk futsalor yang tidak memiliki dua kaki) tidak boleh menginjak garis ataupun berada dalam lapangan.

Garis lebar lapangan biasa disebut goal line, karena memang goal/gawang diletakan di garis ini. Jika bola melewati garis ini, maka permainan dihentikan dan selanjutnya dimulai lagi dengan corner kick ataupun goal clearence (bola dilempar oleh penjaga gawang, bukan ditendang). Ukuran dari gawang itu sendiri adalah: lebar 3 m, tinggi 2 m, dengan kedalaman jaring atas 0,8 m, dan kedalaman jaring bawah 1 m.

Lapangan ini dibagi dua sama besar dengan sebuah garis yang disebut halfway line. Di tengahnya terdapat titik putih, dikelilingi garis putih melingkar dengan radius 3 m (disebut center circle). Kick-off dimulai dari titik ini.

Dalam futsal, halfway line lebih banyak fungsinya dibanding dalam sepak bola, selain hanya sebagai pembagi wilayah kedua tim yang bertanding. Tim yang menguasai bola (bola berasal dari penjaga gawang mereka sendiri), tidak diperkenankan mengembalikan bola ke penjaga gawang sebelum bola tersebut melewati halfway line memasuki daerah pertahanan lawan atau sebelum bola tersebut tersentuh/dikuasai oleh pemain lawan. Jika dilakukan, ini akan diganjar dengan indirect free kick alias tendangan bebas tidak langsung. Penjaga gawang juga tidak diperkenankan menguasai bola selama lebih dari 4 detik di wilayahnya sendiri. Hukuman untuk pelanggaran seperti ini juga berupa indirect free kick.

Di keempat sudut lapangan terdapat garis lengkung putih yang ditarik 25 cm dari sudut lapangan ke bagian dalam lapangan. Zona yang dihasilkan oleh garis ini disebut corner arc yang tentu saja digunakan untuk meletakkan bola dalam situasi corner kick.

Penalty area ditandai dengan garis lengkung putih dengan radius 6 m dari masing-masing tiang gawang. Dalam zona ini penjaga gawang diperkenankan menyentuh bola menggunakan tangannya. Dalam zona ini pula setiap pelanggaran yang konsekuensinya adalah direct free kick (bukan indirect free kick) akan diganjar dengan tendangan penalti. Penjaga gawang punya hak khusus untuk melakukan sliding tackle tanpa terkena hukuman di wilayah ini. Sejauh wasit menganggap tindakan itu murni untuk mengamankan bola dan jauh dari nuansa kekerasan apalagi niat mencederai lawan.

Tepat 6 meter dari goal line (dari tengah gawang), melekat diatas garis pembatas penalty area, terdapat titik putih yang disebut first penalty mark. Titik ini digunakan dalam situasi tendangan penalti. Empat meter lebih jauh (10 meter dari goal line), segaris dengan first penalty mark, terdapat titik putih lain yang disebut second penalty mark. Penalty area, first dan second penalty mark, terdapat di kedua bagian lapangan yang dibagi oleh halfway line.

Jika dalam satu babak sebuah tim melakukan pelanggaran dengan konsekuensi direct free kick sebanyak 5 kali, maka pelanggaran keenam dan selanjutnya dalam babak itu (yang juga berkonsekuensi direct free kick, bukan inderect free kick) akan dihukum dengan direct free kick dari second penalty mark. Dalam situasi ini, tim yang dihukum tidak diperkenankan membentuk tembok penghalang. Situasinya sama persis dengan tendangan penalti biasa. Hanya saja jaraknya ke gawang lebih jauh.

Dalam situasi free kick, corner kick, maupun kick-in, tim yang bertahan tidak diperkenankan berada kurang dari 5 meter dari posisi bola yang dikuasai lawan.

Lalu bagaimana dengan bola yang digunakan?

Bola yang digunakan, menurut FIFA, seharusnya berdimensi: berbentuk bulat (ya iya lah!), keliling 62-64 cm, berat 400-440 gram, dan tekanan 0,4-0,6 atmosfir di permukaan laut. Khusus untuk tekanan, jangan bingung-bingung! FIFA memberi cara pengukuran yang lebih sederhana dan masuk akal: memantulkan bola ke lapangan (rubber atau wood). Dari ketinggian 2 m, pantulan pertama dari bola yang memenuhi syarat tidak boleh kurang dari 50 cm, namun tidak boleh lebih dari 65 cm.

Nah, urusan lapangan dan bola sudah kelar kan? Silahkan melanjutkan permaianan futsal Anda dengan gembira!

Minggu, 01 Maret 2009

apa Tuch???????


Pocong adalah sejenis hantu yang berwujud pocong. Di Malaysia, hantu semacam ini dikenal pula sebagai hantu bungkus.

Penggambaran

Penggambaran pocong bervariasi. Dikatakan, pocong memiliki wajah berwarnah hijau dengan mata yang kosong. Penggambaran lain menyatakan, pocong berwajah rata dan memiliki lubang mata berongga atau tertutup kapas dengan wajah putih pucat. Mereka yang percaya akan adanya hantu ini beranggapan, pocong merupakan bentuk protes dari si mati yang terlupa dibuka ikatan kafannya sebelum kuburnya ditutup.

Meskipun pocong dalam film sering digambarkan bergerak melompat-lompat, mitos tentang pocong malah menyatakan pocong bergerak melayang-layang. Hal ini bisa dimaklumi, sebab di film-film pemeran pocong tidak bisa menggerakkan kakinya sehingga berjalannya harus melompat-lompat. Keadaan ini pula yang menimbulkan suatu pernyataan yang biasa dipakai untuk membedakan pocong asli dan pocong palsu di masyarakat:“ Lihat saja cara berjalannya. Bila berjalannya melompat-lompat, lempar saja dengan batu, pasti akan teriak-teriak. ”


Kepercayaan akan adanya hantu pocong hanya berkembang di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Walaupun penggambarannya mengikuti tradisi muslim, umat beragama lain pun ternyata dapat mengakui eksistensi hantu ini.

[sunting]
Pocong dalam kesenian

Pocong sering kali mewarnai cerpen atau roman bertema misteri. Dalam sinema nasional Indonesia bergenre horor, pocong bahkan sering kali dihadirkan. Beberapa bahkan menggunakannya sebagai judul.

Dalam parade ogoh-ogoh sebelum perayaan Nyepi di Bali, umpamanya, wujud pocong kerap diwujudkan, biasanya oleh kelompok masyarakat non-Hindu.

[sunting]
Pocong dalam sinema Indonesia
Pocong (2005), tidak lolos sensor BSF.
Pocong 2 (2006).
Pocong 3 (2007).
40 Hari Bangkitnya Pocong

job for a cowboy


History

Formation and Doom (2003–2006)

Job for a Cowboy was formed in Glendale, Arizona in December 2003.[3] The group was founded by vocalist Jonny Davy, guitarists Ravi Bhadriraju and Andrew Arcurio, bassist Chad Staples, and drummer Andy Rysdam.[4] In 2004, they created a MySpace profile, posted songs online, and began to connect with several worldwide fans.[5] Later that year, Staples and Rysdam left Job for a Cowboy and were replaced by Brent Riggs and Elliott Sellers respectively as bassist and drummer.[4] Traffic to the band's MySpace profile increased exponentially in late 2005, when the band released its first EP, entitled Doom.[5] The EP attracted the attention of Arizona independent label King of the Monsters, who distributed the disc after an initial self-released pressing by the band.[4]

Job for a Cowboy extensively promoted their debut EP, including three performances on the Sounds of the Underground tour.[5] By the end of year, the band obtained professional management and signed a deal with Metal Blade Records,[5] who reissued Doom with a bonus track.[4] Also in 2006, Arcurio left Job for a Cowboy, and new guitarist Bobby Thompson joined the group.[4] While Job for a Cowboy was writing material for their first full-length album, Sellers announced that he would be leaving the band to go back to school immediately after recording the album.[5] In search of a permanent drummer, the band then posted a bulletin on Blabbermouth.net,[6] which was seen by Jon "The Charn" Rice. He made a video of himself, posted it on YouTube, and sent the link to the band.[5] Soon after, Rice was announced as the new drummer.[7]

[edit]
Genesis (2007–present)

In March 2007, Job for a Cowboy completed their full-length debut album, Genesis.[8] The album was recorded at Blue Light Audio Media in Phoenix, Arizona with producer Cory Spotts, and mixing of Sabbat guitarist Andy Sneap; released on May 15, the album peaked at #54 on the Billboard 200, and sold nearly 13,000 copies in its first week, the highest-charting metal debut since 1999's self-titled album by Slipknot. The album received generally positive reviews, with UK's Kerrang! saying, "an album that quite literally obliterates everyone else currently residing within the death and grind [metal] scenes" and "one of the year's most essential metal purchases".[9]

In June 2007, the band performed at the Download Festival in Donington Park, England.[10] The group also played at the Sounds of the Underground festival along with Amon Amarth, Chimaira, GWAR, and Shadows Fall.[10] In October, Job for a Cowboy co-headlined the 2007 Radio Rebellion Tour, teaming up with Behemoth, Gojira and Beneath the Massacre.[11] The band featured on the 2008's Gigantour with headliners Megadeth, Children of Bodom, In Flames and High on Fire.[12] In addition, they have been confirmed for a number of festivals during 2008, including Wacken Open Air in Germany[13] and a second appearance at England's Download Festival.[14] Job for a Cowboy have embarked on a U.S. headlining tour in November and December 2008 with supporting acts Hate Eternal and All Shall Perish.[15] In late-2008 guitarist Ravi Bhadriraju left Job for a Cowboy to return to school.[16] He was replaced with ex-Despised Icon guitarist Al Glassman.[17]

[edit]
Members
Current
Jonny Davy – lead vocals (2003–present)
Bobby Thompson – guitars (2006–present)
Al Glassman – guitars (2008–present)
Brent Riggs – bass, backing vocals (2004–present)
Jon "The Charn" Rice – drums, percussion (2007–present)
Former
Chad Staples – bass (2003–2004)
Andy Rysdam – drums, percussion (2003–2004)
Andrew Arcurio – guitars (2003–2006)
Elliott Sellers – drums, percussion (2004–2006)
Ravi Bhadriraju – guitars (2003–2008)

[edit]
Discography
Studio albums
2007: Genesis
EPs
2004: Job for a Cowboy
2005: Doom

about GuitAr


History
The need for an amplified guitar became apparent during the big band era, as jazz orchestras of the 1930s and 1940s increased in size, with larger brass sections. Initially, electric guitars used in jazz consisted primarily of hollow archtop acoustic guitar bodies to which electromagnetic transducers had been attached. It is also very clear.

Early years
Sketch of Rickenbacker "frying pan" lap steel from 1934 patent application.

Electric guitars were originally designed by an assortment of luthiers, guitar makers, electronics enthusiasts, and instrument manufacturers. Guitar innovator Les Paul experimented with microphones attached to guitars.[2] Some of the earliest electric guitars adapted hollow bodied acoustic instruments and used tungsten pickups. This type of guitar was manufactured beginning in 1932 by Electro String Instrument Corporation in Los Santos under the direction of Adolph Rickenbacher and George Beauchamp. Their first design was built by Harry Watson, a craftsman who worked for the Electro String Company. This new guitar which the company called "Rickenbacker" would be the first of its kind.[3]

The earliest documented performance with an electrically amplified guitar was in 1932, by guitarist and bandleader Gage Brewer. The Wichita, Kansas-based musician had obtained two guitars, an Electric Hawaiian A-25 (Fry-pan, lap-steel) and a standard Electric Spanish from his friend George Beauchamp of Los Angeles, California. Brewer publicized his new instruments in an article in the Wichita Beacon, October 2, 1932 and through performances that month.

The first recordings using the electric guitar were made by Hawaiian Style players such as Andy Iona as early as 1933. Bob Dunn of Milton Brown's Musical Brownies introduced the electric Hawaiian guitar to Western Swing with his January 1935 Decca recordings, departing almost entirely from Hawaiian musical influence and heading towards Jazz and Blues. Alvino Rey was an artist who took this instrument to a wide audience in a large orchestral setting and later developed the pedal steel guitar for Gibson. An early proponent of the electric Spanish guitar was jazz guitarist George Barnes who used the instrument in two songs recorded in Chicago on March 1st, 1938, Sweetheart Land and It's a Low-Down Dirty Shame. Some historians incorrectly attribute the first recording to Eddie Durham, but his recording with the Kansas City Five was not until 15 days later.[4] Durham introduced the instrument to a young Charlie Christian, who made the instrument famous in his brief life and is generally known as the first electric guitarist and a major influence on jazz guitarists for decades thereafter.

The first recording of an electric Spanish guitar, west of the Mississippi was in Dallas, in September 1935, during a session with Roy Newman and His Boys, an early Western swing dance band. Their guitarist, Jim Boyd, used his electrically amplified guitar during the recording of three songs, "Hot Dog Stomp" (DAL 178-Vo 03371), "Shine On, Harvest Moon" (DAL 180-Vo 03272), and "Corrine, Corrina" (DAL 181-Vo/OK 03117).[5][6][7] An even earlier Chicago recording of an electrically amplified guitar—albeit an amplified lap steel guitar—was during a series of session by Milton Brown and His Brownies (another early Western swing band) that took place January 27-28, 1935, wherein Bob Dunn played his amplified Hawaiian guitar.[8]

Early proponents of the electric guitar on record include: Jack Miller (Orville Knapp Orch.), Alvino Rey (Phil Spitalney Orch.), Les Paul (Fred Warring Orch.), Danny Stewart (Andy Iona Orchestra), George Barnes (under many alias), Floyd Smith, Bill Broonzy, T-Bone Walker, George Van Eps, Charlie Christian (Benny Goodman Orch.) Tampa Red, Memphis Minnie, and Arthur Cruddup.

Early electric guitar manufacturers include: Rickenbacker (first called Ro-Pat-In) in 1932, Dobro in 1933, National, AudioVox and Volu-tone in 1934,Vega, Epiphone (Electrophone and Electar), and Gibson in 1935 and many others by 1936.

The version of the instrument that is best known today is the solid body electric guitar, a guitar made of solid wood, without resonating airspaces within it. Rickenbacher, later spelled Rickenbacker, did, however, offer a cast aluminum electric steel guitar, nicknamed The Frying Pan or The Pancake Guitar, developed in 1931 with production beginning in the summer of 1932. This guitar sounds quite modern and aggressive as tested by vintage guitar researcher John Teagle. The company Audiovox built and may have offered an electric solid-body as early as the mid-1930s.

Another early solid body electric guitar was designed and built by musician and inventor Les Paul in the early 1940s, working after hours in the Epiphone Guitar factory. His log guitar (so called because it consisted of a simple 4x4 wood post with a neck attached to it and homemade pickups and hardware, with two detachable Swedish hollow body halves attached to the sides for appearance only) was patented and is often considered to be the first of its kind, although it shares nothing in design or hardware with the solid body "Les Paul" model sold by Gibson. In 1945, Richard D. Bourgerie made an electric guitar pickup and amplifier for professional guitar player George Barnes. Bourgerie worked through World War II at Howard Radio Company making electronic equipment for the American military. Mr. Barnes showed the result to Les Paul, who then arranged for Mr. Bourgerie to have one made for him.

[edit]
Fender
Main article: Fender Musical Instruments Corporation

Stratocaster by Nermin
Sketch of Fender lap steel guitar from 1944 patent application.

In 1946, radio repairman and instrument amplifier maker Clarence Leonidas Fender—better known as Leo Fender—through his eponymous company, designed the first commercially successful solid-body electric guitar with a single magnetic pickup, which was initially named the "Esquire". This was a departure from the typically hollow-bodied Jazz-oriented instruments of the time and immediately found favor with Country-Western artists in California. The two-pickup version of the Esquire was called the "Broadcaster". However, Gretsch had a drumset marketed with a similar name (Broadkaster), so Fender changed the name to "Telecaster".

Features of the Telecaster included: an ash body; a maple 25½" scale, 21-fret or 22-fret neck attached to the body with four-bolts reinforced by a steel neckplate; two single-coil, 6-pole pickups (bridge and neck positions) with tone and volume knobs, pickup selector switch; and an output jack mounted on the side of the body. A black bakelite pickguard concealed body routings for pickups and wiring. The bolt-on neck was consistent with Leo Fender's belief that the instrument design should be modular to allow cost-effective and consistent manufacture and assembly, as well as simple repair or replacement. Due to the earlier mentioned trademark issue, some of the first production Telecasters were delivered with headstock decals with the Fender logo but no model identification. These are today very much sought after, and commonly referred to by collectors as "Nocasters".

In 1954, Fender introduced the Fender Stratocaster, or "Strat." The Stratocaster was seen as a deluxe model and offered various product improvements and innovations over the Telecaster. These innovations included a well dried ash or alder double-cutaway body design for bridge assembly with an integrated spring vibrato mechanism (called a synchronized tremolo by Fender, thus beginning a confusion of the terms that still continues), three single-coil pickups, and body comfort contours. Leo Fender is also credited with developing the first commercially successful electric bass guitar called the Fender Precision Bass, introduced in 1951.

[edit]
Vox

In 1962 Vox introduced the pentagonal Phantom guitar, originally made in England but soon after made by Alter EKO of Italy. It was followed a year later by the teardrop-shaped Mark VI, the prototype of which was used by Brian Jones of The Rolling Stones, and later Johnny Thunders of the New York Dolls. Vox guitars also experimented with onboard effects and electronics. In the mid 1960s, as the sound of electric 12-string guitars became popular, Vox introduced the Phantom XII and Mark XII electric 12-string guitars as well as the Tempest XII which employed a more conventional Fender style body and thus is often overlooked as a Vox classic from the Sixties. The few that were manufactured also came from Italy. Vox also produced other traditional styles of 6- and 12-string electric guitars in both England and Italy, The 12-string electric guitars had a much larger neck and body and averaged at the weight of 26.4 pounds(11.9kg), they were also played on tables such as a piano or other sit down instrument.